Para ahli geologi menyatakan bahwa potensi gunung lumpur (mud vulcano) membentang luas di daratan Pulau Jawa, sehingga di wilayah itu rentan terjadi semburan lumpur seperti yang terjadi di Sidoarjo, Jatim.
Staf Ahli geologi BP Migas Awang Harun Satyana mengatakan, terdapat jalur rentetan gunung lumpur yang terbentang luas dari Bogor hingga Sidoarjo.
"Masyarakat mungkin tidak akan pernah lupa terhadap kejadian fenomenal semburan lumpur yang terjadi di wilayah Jawa Timur itu, bahkan setelah dua tahun, lumpur Sidoarjo terus menyembur tanpa henti," ujarnya.
Bagi ahli geologi, kata dia, kejadian tersebut merupakan salah satu contoh tidak tepatnya perlakuan manusia terhadap alam karena kurangnya pengetahuan terhadap kegeologian.
"Kejadian ini sebenarnya sangat alami, bahkan beberapa pakar telah memetakan Indonesia sebagai wilayah yang rentan terhadap gangguan alam seperti itu," urainya.
Awang menjelaskan, beberapa juta tahun lalu, tepatnya di wilayah Kubah Sangiran terjadi hal serupa. Berdasarkan penelitian, Sangiran merupakan tempat hidup manusia purba pertama di Pulau Jawa dua juta tahun lalu.
"Kubah Sangiran kemudian tererosi pada bagian puncaknya, sehingga membentuk sebuah depresi. Pada depresi itulah, tersingkap lapisan-lapisan tanah secara alamiah," ujarnya.
Bahkan, kata dia, gunung lumpur ini telah menenggelamkan sebuah kerajaan di Jawa Timur sekitar 400 tahun silam.
Sedangkan Edi Sunardi, Ketua Pengembangan Ilmu IAGI, yang juga dosen Geologi Unpad, berpendapat, secara geografis, daerah Jatim memiliki peta geologi yang spektakuler karena memiliki kandungan minyak, gas, serta gunung lumpur.
Bahkan, terdapat satu jalur dari arah Barat ke Timur sampai dengan Selat Madura yang dipenuhi dengan gunung lumpur.
Hal senada dikatakan Prof Sukendar Asikin, ahli tektonik dan geologi struktur dari Institut Teknologi Bandung (ITB), bahwa tidak menutup kemungkinan fenomena Kubah Sangiran terulang kembali di beberapa wilayah di Pulau Jawa.
Menurut dia, erupsi Kubah Sangiran terjadi akibat beratnya beban gunung api yang menjulang di wilayah itu, yang mengakibatkan keluarnya cairan dari dalam perut bumi.
"Artinya, kejadian itu bisa terulang kembali jika beban di atas permukaan tanah di beberapa wilayah di Pulau Jawa terlalu berat, misalnya oleh kepadatan kota," ujarnya.
Dia mengatakan, pesatnya pembangunan tanpa diimbagi dengan kajian geologi, berpotensi membuat kejadian seperti lumpur Sidoarjo terulang kembali.
Kekhawatiran ini, lanjutnya, memang beralasan karena saat ini terlihat pesatnya pembangunan kota, dan bahkan terjadinya eksploitasi tanah secara besar-besaran untuk menghasilkan batu bara dan timah.
Di sisi lain, kata Asikin, kesadaran akan penghijauan lingkungan semakin berkurang, akibat tidak pahamnya masyarakat mengenai musibah yang mengancam.
"Kurangnya pengetahuan pemerintah dan masyarakat mengenai geologi diduga sebagai penyebab awal terjadinya bencana. Pemerintah memberikan izin eksplorasi, dan masyarakat melaksanakannya tanpa berbekal pengetahunan geologi," ujarnya.
Namun, kata dia, hal itu mungkin tidak menjadi masalah jika setiap lapisan tanah yang mengandung kekayaan alam tidak berpotensi menimbulkan bencana.
Pada kenyataannya, kekayaan bumi itu kerap berdampingan letaknya dengan potensi bencana, seperti kejadian lumpur Sidoarjo.
"Ini memang unik, di wilayah yang termasuk jalur gunung lumpur itu ternyata terkandung minyak yang cukup besar, kondisi ini mirip dengan kejadian pengeboran minyak di wilayah Azerbaijan dan Iran," jelasnya.
Menurut dia, pengeboran minyak di wilayah itu menghasilkan sedikitnya 1,5 juta barel per hari, namun juga menyemburkan lumpur dari perut bumi mirip dengan kejadian di Sidoarjo.
Pihaknya melihat, atas beberapa peristiwa alam yang terjadi, sudah selayaknya perhitungan geologi menjadi pertimbangan sebelum melakukan eksplorasi.
"Pada dasarnya pengebor itu tidak salah, karena wilayah itu mengandung minyak. Permasalahan utamanya ialah, masih rendahnya kesadaran terhadap kelestarian lingkungan sebagai basis pembangunan," ujarnya.
Saat ini, kata dia, setelah terjadi bencana lumpur Sidoarjo, pengetahuan mengenai kegeologian menjadi penting, khususnya berkaitan dengan penemuan sedikitnya 20 cekungan baru di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar