Lumpur LAPINDO: Kronologi dan Kesaksian







Kronologi kejadian yang disampaikan oleh Lapindo, pada 27 Mei pengeboran dilakukan dari kedalaman 9.277 kaki ke 9.283 kaki. Pukul 07.00 hingga 13.00 pengeboran dilanjutkan ke kedalaman 9.297 kaki. Pada kedalaman ini, sirkulasi lumpur berat masuk ke dalam lapisan tanah, yang disebut loss. Setelah terjadi loss, sebagai langkah standar disuntikkan loss circulating material (LCM) atau material penyumbat ke dalam sumur untuk menghentikan loss agar sirkulasi kembali normal.

Yang lazim dalam pengeboran pada umumnya, peristiwa loss diikuti munculnya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas yang disebut kick. Untuk mengantisipasi kick, pipa ditarik ke atas untuk memasukkan casing sebagai pengamanan sumur. Sebagai catatan, casing terakhir terpasang di kedalaman 3.580 kaki. Saat proses penarikan pipa hingga 4.241 kaki, pada 28 Mei pukul 08.00-12.00, terjadilah kick berkekuatan 350 Psi. Oleh karena itu, lumpur berat disuntikkan ke dalam sumur.

Ketika hendak ditarik lebih ke atas, pada kedalaman 3.580 kaki bor macet atau stuck. Upaya menggerakkan pipa ke atas, ke bawah, maupun merotasikannya gagal. Bahkan, pipa tetap bergeming saat dilakukan penarikan sampai dengan kekuatan 200 ton. Upaya ini berlangsung mulai pukul 12.00 hingga 20.00. Selanjutnya, untuk mengamankan sumur, di area macetnya bor disuntikkan semen. Karena macet, akhirnya diputuskan bor atau fish diputus dari rangkaian pipa dengan cara diledakkan. Pada 29 Mei pukul 05.00, terjadilah semburan gas berikut lumpur ke permukaan.

Menurut keterangan sejumlah mekanik penambangan PT. Tiga Musim Masa Jaya (TMMJ), perusahaan subkontrak penambangan, semburan gas disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Semburan (blow out) lumpur mulai terjadi pada 27 Mei sekitar pukul 07.00. Saat itu lumpur buatan untuk melindungi mata bor sekaligus untuk memudahkan proses pengeboran (oil base mud) hilang atau loss. Sejak saat itu lokasi pengeboran langsung ditutup dengan Police Line dan aparat kepolisian dari Polsek Porong telah menutup jalan menuju area pengeboran.

Ketika bor berada di kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dan akan diangkat untuk ganti rangkaian, tiba-tiba macet. Gas tak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor, dan menekan ke samping, akhirnya keluar ke permukaan melalui rawa. "Sekitar pukul 05.00, lumpur dan gas akhirnya menyembur sekitar 100 meter dari sumur," ata seorang mekanik (Kompas, 8/6/06). Menurut para saksi mata di sekitar kejadian, semburan itu disertai suara keras dan ketinggiannya mencapai 15 meter.

Salah seorang pekerja pengeboran sudah merasakan ada kebocoran gas sejak Minggu (28/5). Dia sudah menginformasikan kepada pimpinannya di Lapindo. Saat itu, karyawan pengeboran yang tidak mau menyebutkan namanya itu mengingatkan, jika pengeboran diteruskan dapat mengakibatkan kebocoran, dan yang akan keluar adalah gas beracun yang dapat menimbulkan terjadinya kebakaran. Tetapi, pimpinannya tidak menghiraukan peringatan itu. Dia meminta agar pengeboran dilanjutkan (Surya. 30/6/06)

Dalam dokumen yang diterima Kompas, yang ditujukan kepada Lapindo, pada 18 Mei 2006 atau 11 hari sebelum semburan gas, rekanan proyek sudah mengingatkan Lapindo soal pemasangan casing atau pipa selubung. Casing sudah harus dipasang sebelum pengeboran sampai di formasi Kujung di kedalaman 2.804 meter. Lapindo sebagai operator proyek belum memasang casing berdiameter 5/8 inci pada kedalaman 2.590 meter. Padahal, pemasangan casing adalah salah satu rambu keselamatan (Kompas, 27/6/06).

Meskipun demikian, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) maupun Lapindo berulang kali menyatakan bahwa pengeboran telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur, seperti yang disampaikan oleh Sutjahyo, kepala divisi operasi lapangan BP Migas. Menurut Sutjahyo, semua prosedur pengeboran sudah dilakukan secara baik dan terjadinya semburan lumpur tidak pernah diperhitungkan (Surya, 8/6/06). Padahal, casing terakhir dipasang pada kedalaman 3.850 kaki, sedangkan kedalaman terakhir sumur adalah 9.297 kaki. Berarti dinding sumur yang tidak dipasang casing sepanjang 5.447 kaki (Kompas 15/6/06)

Meskipun telah banyak ahli mengeluarkan pernyataan dan memberikan kesaksian terhadap penyebab terjadinya semburan lumpur dan gas di sumur pengeboran Banjar Panji -1, Lapindo tetap bersikukuh menganggap bahwa peristiwa tersebut merupakan dampak gempa bumi yang membentuk retakan dalam lapisan tanah. Retakan itulah yang kemudian mengakibat gas dan lumpur menyembur keluar. Meskipun dalam penyidikan awal juga telah terungkap adanya indikasi kejanggalan dalam eksplorasi, pihak Lapindo tetap ngotot bahwa semua kegiatan pengeborannya sudah sesuai SOP (standar operating procedure) (Jawa Pos, 20/6/06).

Pangdam V/ Brawijaya Mayjen TNI Syamsul Mappareppa meminta masyarakat tidak serta merta menyalahkan pihak Lapindo, karena perusahaan pertambangan ini telah melakukan penelitian sebelum eksplorasi. Pangdam menganggap terjadinya semburan Lumpur sebagai musibah. Bahkan, Pangdam juga mengatakan luberan Lumpur bukan akibat kesalahan pengeboran, tapi murni karena bencana alam (Radar Surabaya, 5/6/06).

Pakar geologi yang juga Kepala Unit Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kampus ITS Sukolilo Surabaya Ir. Amien Widodo, M.T. menyangkal pendapat tersebut. Menurut Amien, terjadinya semburan Lumpur dan gas di sumur Banjar Panji-1 bukan karena pengaruh gempa. Sebab, getaran yang terjadi di kawasan Surabaya dan Sidoarjo karena gempa Jogja hanya sekitar 2,2 skala richter (Kompas, 8/6/06). "Gempa di Jogjakarta berskala 5,9 skala richter dan apabila berpengaruh di Sidoarjo skalanya kecil, tidak akan menyebabkan luapan lumpur seperti itu," kata Amien (Surya, 4/6/06)

Bupati Sidoarjo Win Hendrarso sejak awal mengatakan banjir lumpur bukan musibah bencana alam, karena terjadi akibat pengeboran gas oleh Lapindo. Simpulan Bupati benar karena lumpur meluap dari sumur pengeboran gas Lapindo. Sebelum lumpur meluap, seorang pekerja Lapindo sudah menginformasikan kalau pengeboran gas membahayakan, karena terdapat tanda-tanda akan terjadi kebocoran. Tetapi, pimpinannya meminta agar pekerjaan diteruskan. Hal ini menunjukkan bahwa Lapindo kurang professional, karena setiap mengeksplorasi bahan tambang, baik gas maupun minyak, selalu memiliki risiko besar.

Gas bumi memiliki tekanan luar biasa ke permukaan bumi, apalagi wilayah Porong berdekatan dengan kawasan Pegunungan Arjuno yang banyak menyimpan kantung air. Sehingga, apabila gas di perut bumi dikeluarkan, maka tekanan gas keluar sambil mendorong lapisan tanah atau kerak bumi berupa jutaan meter kubik lumpur di atasnya. Yang perlu dipertanyakan, tatkala gas bocor menyemburkan asap berbau menyengat Lapindo tenang-tenang saja. Yang membuat warga geregetan, salah seorang pejabat Lapindo mengatakan bahwa muntahan lumpur dari sumur warga bukan kesalahan Lapindo. Padahal, luapan Lumpur di sumur-sumur warga terjadi setelah lubang pengeboran diinjeksi untuk menghentikan luapan Lumpur (Surya, 8/6/06)

Koordinator Divisi Advokasi Energi Jaringan Advokasi Tambang Andri Wijaya menganggap alasan yang dikemukakan Lapindo sangat tidak masuk akal, karena tidak ada sumur eksploitasi dan eksplorasi lain yang letaknya lebih dekat dengan Jogjakarta mengalami luberan lumpur. Andri mencurigai luberan lumpur disengaja. "Lumpur digunakan sebagai proses clearing area di sekitar wilayah pengeboran dalam waktu singkat dan cepat," katanya. Artinya, perusahaan membutuhkan tanah, sedangkan tanah yang sudah terendam lumpur pasti dijual dengan harga murah (Kompas, 16/6/06).

Direktur Masyarakat Energi dan Mineral Indonesia (MEMI) A. Supriyatna menilai, kasus semburan lumpur bercampur gas di Ronokenongo bukan semata ketidakberuntungan Lapindo Brantas dalam mengeksplorasi sumber migas, tetapi ada kesalahan prosedur pengeboran sampai mengakibatkan terjadi semburan itu. Oleh karena itu, Supriyatna meminta agar Lapindo bertanggungjawab, termasuk memberi ganti rugi kepada warga serta infrastruktur jalan tol yang rusak. "Jika investigasi membuktikan ada kelalaian prosedur pengeboran, BP Migas wajib mencabut izin konsesi kuasa penambangan yang sudah diberikan kepada Lapindo,” tegas Supriyatna (Surya, 9/6/06).

Anggota DPRD Jatim Hidayat, M.Si. mengatakan kemungkinan terjadi salah prosedur dalam pengeboran. "Ada warga yang mengatakan, dalam proses pengeboran bor yang dipakai patah dan buktinya ialah adanya bor yang tertinggal di lokasi pengeboran," kata Hidayat. Tetapi, pernyataan tersebut dibantah oleh General Manajer Lapindo Jatim Rawindra. Menurut dia, semua yang dilakukan oleh Lapindo sesuai prosedur, termasuk tentang bor yang disebut patah. "Bor tidak patah, tapi sengaja ditinggal setelah ditutup semen, dan prosedur pengamanannya memang seperti itu," tuturnya (Surya, 13/6/06).

Dalam bocoran surat dari PT Medco Energi yang dikirimkan kepada Lapindo, yang salinannya jatuh ke tangan para wartawan, terungkap bahwa pada 5 Juni 2006 Medco mengirimkan surat kepada Presdir Lapindo Imam P. Agustino. Dalam surat yang ditandatangani oleh Budi Basuki selaku Perwakilan Komite Operasi PT Medco E&P Brantas dijelaskan bahwa berdasarkan kajian teknis yang dilakukan oleh Medco terhadap insiden luapan lumpur, Lapindo sebagai operator telah melakukan kelalaian sebagaimana tertera dalam perjanjian Operasi Bersama Brantas.

Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa dalam rapat teknis pada 18 Mei 2006, Medco telah mengingatkan operator untuk memasang casing pada kedalaman 8.500 kaki untuk mengantisipasi potensi kebocoran sebelum pengeboran menembus formasi kujung sebagaimana disetujui dalam program pengeboran (DutaMasyarakat,20/6/06).

Seorang praktisi dan pengamat geologi yang bekerja di sebuah perusahaan asing, yang tidak mau disebutkan namanya, mengkritisi prosedur yang dilakukan oleh Lapindo. Memang benar bahwa formasi Kujung tidak bisa dipastikan. Tetapi, Lapindo tidak melakukan langkah-langkah precautions yang cukup memadai. Misalnya, tentang pemasangan casing. “Meski sudah mengetahui terdapat selisih perkiraan formasi Kujung lebih dari 700 kaki, Lapindo tidak memasang casing. Itu adalah langkah yang cukup fatal, katanya seperti dikutip Jawa Pos.

Dia menengarai Lapindo sengaja tidak memasang casing untuk menghemat biaya. Pemasangan casing membutuhkan waktu 2-3 hari. Kelambatan waktu sehari saja sudah membutuhkan ongkos yang cukup besar. Sebagai perbandingan, sewa menara rig biayanya Rp. 950 juta per hari. Kalau 3 hari berarti Rp. 2,95 miliar, ditambah biaya-biaya lainnya. Dari sisi efisiensi, tindakan tersebut bisa dibenarkan, tetapi risiko yang harus ditanggung cukup besar. “Kalau uang Rp. 5 miliar yang diserahkan kepada Pemkab Sidoarjo dialokasikan untuk pemasangan casing, tentu tidak akan terjadi semburan gas dan Lumpur,” katanya.

Ia juga mengkritisi lambannya Lapindo dalam menangani semburan Lumpur. Kasus seperti itu pernah dialami oleh perusahaan eksplorasi Huffco di Kalimantan Timur, pada tahun 1981. Namun, Huffco dapat menyelesaikan dengan cepat. Sebelum kejadian berlangsung 24 jam, Huffco telah memanggil perusahaan kontrol sumur (well control) dari Singapura. Dalam beberapa hari, tidak sampai seminggu, lubang tempat keluarnya lumpur telah tertutup, dan Lumpur tidak meluber seperti yang terjadi di Sidoarjo.

Tim peneliti ITS menemukan dugaan yang fantastis. Hasil pengukuran yang dilakukan di lokasi pengeboran, diduga lumpur itu sudah bocor ketika mata bor belum mencapai titik terdalam. Menurut Dr. Rer Nat Makky Sandra Jaya, anggota tim bawah permukaan atau sub-surface ITS, dugaan sementara lumpur dan gas tersebut sebenarnya sudah keluar ketika mencapai kedalaman 2.000-6.000 kaki (600-1.800 meter). Asumsi sementara tersebut dikatakan Makky berdasarkan dugaan palaentologis hasil pengukuran yang dilakukan pada 16 Juni 2006.

Menurut Makky, formasi tanah pada kedalaman 2.000-6.000 kaki tersebut disebut formasi Kalibeng. Sedangkan data dari Lapindo, pengeboran terakhir mencapai kurang lebih 9.200 kaki (2.760 meter). Pada kedalaman tanah tersebut pengeboran yang dilakukan Lapindo sudah mencapai formasi Kujung I (formasi kedalaman tanah di bawah formasi Kalibeng).

Dalam pikiran anggota tim peneliti ITS pernah terlintas dugaan bahwa lumpur mulai keluar pada titik pengeboran terakhir. Namun, dengan memperhatikan faktor hidrostatis dan umur lumpur (palaentologis), mereka tidak bisa menggunakan pemikiran itu. Mikky mengatakan, dengan mengetahui umur batuan atau umur lumpur, maka dapat diketahui sumber lumpur berasal dari formasi tanah yang mana. "Karena semakin tua umur lumpur maka batuan atau lumpur tersebut berada pada lapisan tanah yang semakin dalam," jelasnya. Untuk itu, Tim ITS melakukan pemetaan terhadap zona patahan tanah, mengukur sampel lumpur, dan melakukan studi geologis, geofisika, dan geokimia.

Dosen Laboratorium Geofisika FMIPA ITS ini juga mengungkapkan bahwa semburan gas dan Lumpur panas di Porong merupakan peristiwa pertama yang terjadi di dunia. Kejadian serupa pernah terjadi di Duri, Riau, pada tahun 2002. Tapi kejadian itu tidak bisa disamakan, karena yang terjadi di Duri sumur produksinya diinjeksi uap panas. Semburan gas terjadi setelah sumur diinjeksi. Sedangkan yang terjadi di Porong, lumpur keluar dari dalam tanah secara tidak terkendali.

Makky tidak bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengendalikan lumpur itu. Unuk mengetahui hal itu harus melakukan beberapa kajian, seperti memetakan struktur tanah bawah permukaan untuk mengetahui ada tidaknya lineasi zona rekahan, rupture (robekan), atau fracture (patahan). "Kami perlu memetakan kemungkinan adanya konsentrasi lumpur bawah permukaan. Apakah lumpur terkonsentrasi di zona-zona bawah permukaan tertentu, seberapa luas distribusi zona tersebut, dan di mana saja, serta membuat pemantauan geofisis semburan lumpur dari bawah permukaan," jelas dosen yang meraih gelar dokter di Jerman ini (Surya,17/6/06).

Dr. Seno Puji Sarjono, salah seorang anggota tim yang juga pakar geofisika dari ITS, mengatakan, kasus luapan lumpur di Porong merupakan peristiwa yang pertama terjadi di Indonesia. Biasanya banjir lumpur terjadi di laut atau di hutan, bukan di kawasan permukiman yang padat penduduk. Oleh karena itu, tim ITS dan ITB akan bekerja keras membuka misteri yang menyelimuti luapan lumpur. Tim geofisika meneliti lumpur di bawah permukaan bumi, sedangkan pakar geofisika meneliti lapisan tanah, dan geokimia meneliti senyawa yang ada dalam lumpur.

Seno menjelaskan, dalam peristiwa semburan Lumpur di Porong terdapat sumber gas yang naik ke atas permukaan tanah bercampur air dan lumpur melalui retakan. Oleh karena itu, tim geofisika akan meneliti penyebab retakan lapisan tanah tersebut. Retakan itu terjadi karena salah pengeboran atau pengaruh pengeboran. "Jika pengaruh pengeboran, mungkin di bawah ada struktur patahan atau rekahan tertutup. Kalau di sebelahnya ada getaran atau gangguan akan terjadi gesekan. Ketika ada gesekan gas dan air pasti akan menyembur ke atas," kata Seno.

Sebenarnya, sebelum melakukan pengeboran Lapindo harus melakukan survei seismik. Lapindo harus mengetahui di bawah permukaan terdapat patahan, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi bisa diantisipasi. Menurut Seno, yang pernah terjadi di tempat pengeboran lain lumpur dan gas keluar melalui lubang bor. Yang terjadi di Porong, lumpur dan gas itu menyembur melalui rekahan yang berada di luar lubang bor. Kalau rekahan itu berhubungan dengan lubang bor berarti semburan terjadi karena pengeboran. Untuk mencari rekahan di bawah permukaan tim ITS dan ITB menggunakan metode dengan radar magnetic, karena ada kemungkinan lubang itu mempunyai pola tertentu di rekahan yang lain (Surya, 18/6/06).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan, semburan lumpur bukan akibat gempa bumi, tapi karena kesalahan pengeboran, seperti yang pernah terjadi di beberapa tempat pengeboran. Purnomo menjelaskan, dalam pengeboran yang keluar kadang airnya, lumpurnya, atau gasnya. Bahkan, ada kalanya keluar apinya seperti yang terjadi diPurwodadi, Blok Cepu.

Purnomo menduga dalam kasus Lapindo ada dua lapisan yang berbeda tekanan, pertama menyedot lumpur pendorong dan kedua mendorong pemboran ke atas. Purnomo menganggap kasus tersebut sebagai kecelakaan karena terjadi didaerah permukiman. Meskipun demikian, Purnomo tidak bisa memastikan apakah ini kecelakaan human error atau technical error atau ada pelanggaran hukum, karena pihaknya hanya melakukan upaya menanggulangi lumpur. Sedangkan persoalan pelanggaran hukum ditangani aparat kepolisian (Tempo Interaktif dan Duta Masyaraka , 19/6/06).

Setelah memeriksa 45 orang saksi, Wakil Direktur Reserse Kriminal Polda Jatim AKBP Oneng Subroto, yang bertindak sebagai ketua tim penyidikan kasus Lapindo, menyimpulkan bahwa tidak ada kaitan banjir lumpur Lapindo dengan gempa Jogja. Oneng menjelaskan bahwa lapindo melakukan kelalaian dalam eksplorasi terhadap sumur Banjar Panji-1. Misalnya, pengeboran di kedalaman 3.580 sampai 8.750 kaki tidak dipasang casing. Padahal, sesuai drilling program, pemasangan casing harus dilakukan pada kedalaman 8.500 kaki.

Dalam pemeriksaan juga terungkap adanya kerusakan pompa lumpur, kerusakan mesin penggerak tenaga, serta kerusakan mesin pengangkat dan pemutar bor. Dari keterangan para saksi juga terungkap bahwa pengeboran belum sampai pada formasi Kujung. Selain itu, saat pengawasan drilling di kedalaman 7.693 kaki pada 16 Mei, diketahui bahwa pipa selanjutnya belum dipasang.

Oneng menjelaskan, pihaknya juga berpedoman pada pendapat saksi ahli dari BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) Ariksa Rubianto, bahwa tidak ada kaitan banjir Lapindo dengan gempa Jogja. ”Itu perlu dipertegas, karena pada awal terjadi semburan lumpur pihak lapindo berusaha mengait-ngaitkan dengan gempa Jogja,” kata Oneng (Jawa Pos, 5/7/06).

Setelah melakukan pengkajian, tim investigasi yang dibentuk atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memastikan bahwa penyebab terjadinya semburan lumpur di Sumur Banjar Panji 1 adalah aktivitas pengeboran. Ketua Tim Penghentian Lumpur dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini menjelaskan, tim investigasi juga menemukan semburan lumpur menjadi tidak terkendali akibat tidak tuntasnya upaya mengatasi lumpur.

Hipotesa penyebab keluarnya lumpur dari dalam sumur ke permukaan bumi yang tidak terkendali adalah akibat pengeboran. Penanganan kejadian kehilangan lumpur dan keluarnya lumpur di dalam sumur memang sudah sesuai dengan prosedur. Tetapi, ketika lumpur susulan keluar, rig sudah keburu dipindahkan dari lokasi. ”Dipindahkannya rig inilah yang dalam kesimpulan tim investigasi adalah satu-satunya penyebab semburan lumpur menjadi sedahsyat sekarang," kata Rudi Rubiandini (Kompas, 4/8/06).

Setelah melakukan observasi di sekitar sumur Banjar Panji – 1 selama sekitar 3 minggu, di wilayah seluas 4 kilo meter, tim dari ITB berhasil memetakan pola spesifik rekahan. Zona rekahan di wilayah tersebut ternyata berbeda jauh dengan pola rekahan lembah Jawa Timur pada umumnya, yakni timur laut mengarah ke barat daya. ”Zona rekahan itulah yang menjadi zona lemah geologis,” kata Koordinator Tim Geologi ITB Kukuh Hadianto.

Jalur yang kedalamannnya diperkirakan lebih dari 3.000 meter itu digunakan sebagai jalan tekanan hidronamis berupa gas, fluida, solid, atau gabungan ketiganya seperti yang terjadi di sekitar sumur Banjar Panji – 1. Namun, karena luas observasinya terbatas pada 4 kilo meter persegi, Tim ITB tidak bisa memperkirakan. Sebagai gambaran, Kukuh menyebutkan bahwa tebing di daerah Watukosek dan tikungan kali Porong di sebelah barat jembatan adalah bagian dari rekahan tersebut.

Zona rekahan itu disebut zona lemah karena zona yang terbentuk pada jutaan tahun lalu itu bisa bergerak ketika ada tekanan tektonis maupun vulkanis. Pengaruh letusan Gunung Merapi dan gempa tektonik Jogja mungkin bisa menjadi penyebab terjadinya semburan. Namun, ada penyebab lain yang saling berkaitan, di antaranya ialah prosedur pengeboran. Kalau pengeboran dilakukan secara benar, pemasangan casing dilakukan secara disiplin, kemungkinan terjadinya semburan sangat kecil.

0 komentar: